BeritaNasional

Kesaksian mantan jenderal yang dulu berupaya hapus Dwifungsi ABRI. Saya melawan arus dan dikeroyok

415
×

Kesaksian mantan jenderal yang dulu berupaya hapus Dwifungsi ABRI. Saya melawan arus dan dikeroyok

Share this article

Revisi Undang-Undang TNI yang kontroversial disahkan DPR melalui rapat paripurna di Jakarta, Kamis (20/03). Ketok palu pemberlakuan RUU TNI berlangsung meski berbagai kalangan menyebut beleid tersebut membuka jalan bagi tentara kembali menangani urusan sipil, seperti pada era Orde Baru.

Aiueo.co.id Jakarta – Dalam rapat paripurna, Ketua DPR Puan Maharani membacakan tiga poin yang diatur dalam RUU TNI, yaitu penambahan dua kategori operasi militer selain perang, perluasan lembaga sipil yang bisa ditempati tentara, serta perpanjangan usia pensiun tentara.

“Kami dan pemerintah menegaskan, perubahan UU 34/2004 tentang TNI tetap berlandaskan nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, dan memenuhi ketentuan nasional serta internasional,” klaim Puan.

Setelahnya, Puan dua kali meminta persetujuan kepada para peserta rapat, “Apakah RUU perubahan UU 34/2004 tentang TNI dapat disetujui menjadi undang-undang?”

“Setuju,” ujar para anggota DPR.

Satu dari sedikit mantan jenderal yang pada masa pascareformasi mengupayakan penghapusan doktrin dwifungsi militer menyebut RUU TNI akan membuat Angkatan Bersenjata Indonesia “mundur ke masa lalu”.

“Lingkungan yang menginginkan dwifungsi militer itu masih cukup kuat,” kata Agus Widjojo, pensiunan TNI berpangkat letnan jenderal, dalam perbincangan via telepon dari Manila, Rabu (19/03).

“Politik bisa mengubrak-abrik tentara, tidak menghargai independensi tentara. Itulah yang sekarang terjadi agar militer kembali ke masa lalu,” ujar Agus.

Di sisi lain, DPR dan pemerintah telah berulang kali menyangkal tudingan bahwa RUU TNI akan mengembalikan peran tentara dalam urusan sipil.

“Itu tidak akan mungkin terjadi,” kata Wakil Ketua Komisi I, Dave Laksono kepada pers.

RUU TNI, klaim anggota Komisi I dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, justru memperjelas penugasan tentara di ranah sipil. “Ini bertujuan memberi landasan yang jelas bagi prajurit TNI,” ucapnya.

Namun, menurut Agus, RUU TNI semestinya menuntaskan reformasi TNI, antara lain dengan menghapus komando teritorial Angkatan Darat yang berada di tingkat provinsi hingga desa, yakni kodam, kodim, koramil, dan babinsa.

Struktur komando teritorial itu pada masa Orde Baru merupakan salah satu perwujudan dwifungsi militer dalam konteks mempengaruhi kehidupan sosial dan politik masyarakat.

Pada pembahasan UU TNI tahun 2004, wacana penghapusan komando teritorial diperdebatkan secara sengit di DPR. Namun struktur itu batal dihapus dan tetap eksis hingga saat ini.

“Pembahasan RUU TNI hari ini bukan sebuah proses linier yang membuat TNI maju. Ini proses untuk balik lagi ke masa lalu,” kata Agus.

Lantas bagaimana sebenarnya proses reformasi TNI setelah kejatuhan Orde Baru? Apa yang semestinya dilakukan para perwira TNI pada era demokrasi?

Berikut petikan wawancara BBC News Indonesia dengan Agus Widjojo, yang disebut Agus Wirahadikusuma sebagai perwira dengan intelektual terbaik yang pernah lulus dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Apa pendapat Anda tentang RUU TNI?

Reformasi TNI tahun 2000-an itu sulit karena harus melawan arus. Sekarang revisi yang terjadi itu mengikuti arus, untuk kembali ke masa lalu, menuju sesuatu yang sudah diperbaiki melalui reformasi TNI. Artinya, reformasi TNI dengan proses revisi itu memang kontradiktif dan berlawanan.

Apa saja tantangan untuk mereformasi TNI usai kejatuhan Orde Baru?

Pada waktu itu Indonesia baru saja memasuki alam demokrasi sehingga semua tata kelola pemerintahan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk fungsi pertahanan.

Mengapa diubah, karena sebelumnya fungsi pertahanan itu berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1982, yang sekarang sudah digantikan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

UU 20/1982 itu dasar berpikirnya adalah keadaan darurat tentang tentara perjuangan yang merebut kemerdekaan. Dalam pola berpikir itu, batas antara tentara dan pemerintah itu tidak ada. Batas antara tentara dan rakyat tidak ada. Dapat dikatakan bahwa tentara itu identik dengan pemerintah.

Saat itu Indonesia harus masuk ke alam demokrasi. Carilah sekarang di negara demokrasi mana yang tentaranya bercampur dengan pemerintah dan masyarakat sipil, yang tentara bercampur dengan urusan pembangunan. Tidak ada.

Tentara itu melaksanakan fungsi pertahanan di bawah supremasi sipil.

Supremasi sipil itu terbagi dua. Pertama, supremasi sipil dengan kontrol objektif. Ini konsep yang yang benar karena memberikan tentara dengan anggaran yang diperlukan agar mereka kuat, terlatih, dan memiliki perlengkapan. Fungsi pertahanan itu pada akhirnya tugas puncak tentara: tugas berperang.

Orang-orang Indonesia tidak pernah belajar. Mereka masih tertambat kepada masa-masa perjuangan masa lalu.

Pada pembahasan RUU TNI tahun 2004, Fraksi PDIP mempertanyakan eksistensi komando teritorial pada masa depan. Mereka menuduh struktur militer itu masih berpolitik.

PDIP waktu itu menuding babinsa mengarahkan masyarakat untuk memilih Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pilpres 2004—sebuah tuduhan yang belum terbukti dan telah dibantah Partai Demokrat.

“Dengan segala penghargaan kita kepada reformasi dan kemajuan yang sudah dilakukan, perilaku teritorial sampai pada Pilpres 2004 putaran kedua menimbulkan ketidakpercayaan bagi partai politik saya,” kata Raja Kami Sembiring, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP ketika itu.

“Jadi tolonglah, untuk komprominya, Angkatan Darat relakan koramil. Sebab kalau babinsa sebaiknya tidak usah ada,” kata Raja Kami.

Namun usul Fraksi PDIP ini tak disepakati forum. Komando teritorial Angkatan Darat masih berdiri hingga saat ini. Dalam pembahasan RUU TNI, Maret ini, PDIP tidak lagi mengusung gagasan perombakan dan penghapusan komando teritorial tersebut.

Sejak pemberlakuan UU 34/2004 tentang TNI, militer tidak lagi memiliki fraksi di DPR. Walau kepala daerah kini dipilih melalui pilkada, sejumlah tentara aktif sempat diberikan kedudukan sebagai penjabat sementara kepala daerah pada rezim Joko Widodo.

RUU TNI yang baru saja disahkan DPR menambah lima lembaga sipil baru yang bisa memberikan jabatan kepada tentara aktif, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan.

Secara total, tentara aktif bisa menjabat posisi di 14 lembaga negara. Sembilan lembaga yang sebelumnya telah diatur UU TNI adalah Kemenko Polkam, Kemhan, Kementerian Sekretariat Negara, BIN, Badan Siber dan Sandi Negara, Lemhanas, Basarnas, BNN, dan Mahkamah Agung.

Sebelumnya, terdapat sekitar 200 perwira TNI yang dilibatkan pada “kursus singkat manajemen dan bisnis” yang diadakan Presiden Prabowo Subianto, di Hambalang, Bogor. Mereka diduga akan ditempatkan ke sejumlah stuktur badan usaha milik negara.

Namun Wakil Ketua Komisi I, Budisatrio Djiwandono, menyangkal tuduhan tersebut.

“Nanti kita perlihatkan bahwa tidak ada penempatan prajurit aktif di BUMN,” ujarnya di Jakarta, Rabu kemarin.

“Jadi tidak perlu khawatir bahwa ada prajurit aktif yang masuk ke lingkup BUMN,” kata Budisastro.

Terkait jabatan tentara di luar militer, Jenderal Rudini, eks pimpinan TNI yang pernah menjabat menteri di kabinet Soeharto pernah angkat bicara. Menurutnya, bertugas di luar dinas kemiliteran justru merugikan perwira TNI.

Jika seorang perwira dikaryakan menjadi bupati selam dua periode, kata Rudini, perwira tersebut kehilangan kesempatan untuk tiga kali naik jabatan di internal TNI. Dia berkata, nasib lebih buruk bahkan menanti perwira yang dianggap gagal dalam jabatannya di ranah sipil.

“Karena itu, kepada mereka selalu saya sodorkan hal ini, sebelum mereka menerimanya,” ujar Rudini, seperti diberitakan Majalah Tempo, Mei 1985.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.