Berita

Sambal Dawet di Meja Nangka

112
×

Sambal Dawet di Meja Nangka

Share this article

Sambal Dawet di Meja Nangka

Ditulis oleh Hermanto, wartawan senior

Di lereng barat Menoreh, waktu berjalan pelan dan suara burung lebih terdengar dari deru mesin.
Embun lebih sering tiba ketimbang cahaya.
Dan kampung itu tak pernah terburu, seperti ingin terus tinggal dalam diam.

Perjalanan dari kota ke kampung ini tak lebih dari satu jam. Tapi begitu roda meninggalkan aspal datar Jogja, waktu mulai mengulur, memanjang, dan membiarkan mata kita menyisir tiap detailnya: sawah hijau yang tenang, kafe-kafe artistik di Nanggulan yang dibangun di bibir tebing, dan di beberapa titik, pemandangan orang tua memanggul rumput, atau mengikat tumpukan pakan ternak di belakang motor tua mereka. Beberapa bahkan masih berjalan kaki, memikul rumput setinggi badannya sendiri, melintasi jalan curam yang sepi.

Inilah Jatimulyo, sebuah kelurahan di Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo. Di sanalah kampung kecil Sibolong berada—tersembunyi di antara lipatan Pegunungan Menoreh. Wilayah ini telah lama menjadi bagian dari zona konservasi perbukitan Menoreh, tempat mata air alami masih mengalir, dan lebih dari 150 jenis burung terbang bebas tanpa sangkar. Jatimulyo bahkan dikenal secara nasional sebagai pelopor desa perlindungan burung liar pertama di Indonesia, dilindungi oleh peraturan desa sejak 2014. Ia bukan hanya kampung, tapi sebuah keputusan kultural.

Saya datang ke sana bukan sebagai wisatawan, bukan pula sebagai jurnalis yang ingin mencari sensasi dari kampung. Saya datang untuk mendengar, dan kalau beruntung, menyerap sesuatu yang tak akan saya temukan di tempat lain.

Rumah pertama yang saya datangi berdiri lumayan besar dan bersahaja, tepat di sebelah Masjid Al-Hidayah. Di teras depannya, duduk seorang lelaki berwajah teduh, bersandar di kursi kayu, seperti seseorang yang tak sedang menunggu siapa pun. Namanya Sarijo.sm—seorang Kamutuo Kelurahan, Duku kampung, sekaligus Kaum Rois. Ia memegang amanah lebih dari 8.000 jiwa dan 16.000 hektare wilayah, tapi tak ada bayang kuasa di caranya bicara.

Kami duduk menghadap kebun, di atas meja kayu nangka yang berurat besar dan berwarna emas tua. Di hadapan saya, sudah terhidang satu piring kecil yang membuat saya terdiam: dawet sambal.

Bukan minuman manis dingin seperti yang kita kenal di pasar. Yang ini lebih seperti makanan kecil. Dawet dari cendol kenyal disajikan nyaris tanpa kuah, hanya sedikit santan dan gula, dan yang paling mengejutkan: ditaburi sambal cabe rawit segar.

“Cuma ada di sini,” kata Pak Sarijo dengan senyum tipis. “Dari dulu begitu. Pedasnya itu yang bikin orang ingat rumah.”

Saya menyendok pelan. Rasa manis, gurih, dan pedas bertemu tanpa aba-aba. Lidah saya sempat bingung, tapi kemudian tunduk. Ada semacam jujur dalam rasa itu, semacam keyakinan yang tidak butuh penjelasan. Seperti kampung ini—tidak dibuat untuk menyenangkan orang luar, tapi untuk menjadi rumah bagi yang lahir di sini.

Kami berbincang pelan. Tentang kampung, tentang alam, dan tentang air. Di Sibolong, rumah-rumah masih mengandalkan mata air. Meskipun pompa sudah masuk, tekanan air tak selalu cukup, sehingga sumber alami masih menjadi penopang utama. Salah satu mata air terbesar terletak tak jauh dari masjid, di bawah pohon beringin besar yang akar-akarnya menggenggam batu seperti tangan tua yang tak mau melepas.

Tapi air kini tak sederas dulu.

Saya temui Mbah Selamet, 95 tahun, saat ia menyapu halaman masjid. Tubuhnya ringkih, tapi suaranya terang. Ia bercerita tentang masa Jepang dan Belanda, tentang zaman ketika air mengalir deras bahkan tanpa selang. “Sekarang tinggal nitis-nitis,” katanya. “Tipis. Mata airnya belum mati, tapi udah tua juga, kayak saya.”

Ia tertawa kecil.

Kebun di belakang masjid masih ditanami kopi tua peninggalan zaman kolonial, diselingi kapulaga liar yang tumbuh sendiri, dan berbagai umbi-umbian lokal yang tak masuk katalog pertanian modern. Tak ada yang dibanggakan secara verbal, tapi semuanya dipelihara seperti warisan diam.

Yang lebih mengagumkan: burung-burung yang tidak dijerat, tapi dibiarkan bernyanyi. Jatimulyo melarang warganya berburu burung. Anak-anak tumbuh mengenal suara burung lebih dulu daripada mengenal suara gawai. Ini bukan wisata burung. Ini adalah kehidupan.

Tak heran bila kini wilayah ini juga masuk dalam proyek besar Jalan Wisata Bukit Menoreh—sebuah jalan strategis dari kawasan barat Jogja hingga Borobudur, menyusuri lereng dan perbukitan Menoreh. Tapi Jatimulyo tidak berubah menjadi serakah. Warga tetap memelihara hutan, memelihara pohon, dan membiarkan alam tetap bicara dalam sunyinya.

“Orang sini nggak punya banyak-banyak uang,” kata Pak Sarijo sambil menyeruput kopi.
“Tapi cukup. Cukup itu bikin hidup lebih tenang.”

Dan saya percaya.

Karena di kampung ini, tidak ada yang keras kecuali sambalnya. Selebihnya adalah keheningan yang sabar, embun yang lama menguap, dan angin yang tahu kapan harus berhenti.

Saya menatap kembali meja nangka itu, tempat percakapan kami bertahan lebih dari dua jam. Dawet sambal sudah habis. Tapi rasa pedasnya masih tertinggal, seperti pesan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Sibolong bukan tempat untuk dikunjungi. Ia tempat untuk kembali. Bukan tempat wisata, tapi tempat yang tahu kapan harus diam, dan bagaimana mengajari kita untuk tidak selalu ingin lebih.

Dan mungkin itulah yang tak pernah kita temukan di kota: keberanian untuk hidup pelan-pelan, tanpa merasa kalah(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.